Jumat, 31 Januari 2014
Minggu, 26 Januari 2014
Kisah Maryani (Aryani) akhwat Gorontalo
DOWNLOAD VERSI MP3
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh....
Namaku Maryani, orang-orang biasa memanggilku Aryani. Ini adalah kisah perjalanan hidupku yang hingga hari ini masih belum lekang dari benakku. Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup, bila aku sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Ya, sebuah perjalanan kisah yang sungguh membuat aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku sendiri menyangka bahwa tidak ada lagi orang seperti dia di dunia ini.
Pembaca nurani yang baik. Tahun 2007 silam aku dipaksa orang tuaku untuk menikah dengan seorang pria, kak Arfan namanya. kak Arfan adalah seorang lelaki yang tinggal sekampung denganku, tetapi dia seleting dengan kakakku waktu sekolah dulu, usia kami terpaut 4 tahun, yang aku tahu bahwa sejak kecilnya kak Arfan adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan juga rajin ibadahnya. Dan tabiatnya seperti itu terbawa-bawa hingga ia dewasa, aku merasa risih sendiri dengan kak Arfan apabila berpapasan dijalan semisal. Sebab sopan santunnya sepertinya terlalu berlebihan kepada orang-orang, geli aku menyaksikannya. Yaaah kampungan banget gelagatnya, setiap ada acara-acara ramai di kampung pun kak Arfan tidak pernah terlihat bergabung dengan teman-temannya, pasti kalau dicek kerumahnya nggak ada, orang tuanya pasti menjawab : “Kak Arfan sedang dimasjid nak, sedang menghadiri ta’lim” dan memang mudah sekali mencari kak Arfan. Sejak lulus dari pondok Pesantren Al-Akhirat Gorontalo kak Arfan selalu menghabiskan waktunya membantu orang tuanya jualan, kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Terkadang teman-teman sebayanya menyayangkan potensi dan kelebihan-kelebihannya yang tidak tersalurkan.
Secara fisik memang kak Arfan hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya, sebab kadang gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau kak Arfan dalam keadaan rapi menghadiri acara-acara didesa semisal. Tetapi bagiku sendiri itu adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab aku sendiri merasa bahwa sosok kak Arfan adalah sosok yang tidak istimewa. Apa istimewanya menghadiri ta’lim? Kurang pergaulan dan kampungan banget. Kadang hatiku sendiri bertanya, “kok bisa ya ada orang yang sekolah di kota begitu kembali ke desa tak ada sedikitpun ciri-ciri kekotaannya yang melekat pada dirinya, Hp aja nggak punya, selain membantu orang tua pasti kerjanya ngaji, shalat, ta’lim dan kembali kepekerjaan lagi. Seolah ruang lingkup hidupnya hanya monoton pada itu-itu saja. Sekali-kali ke bioskop kek, ngumpul bareng teman-teman kek setiap malam minggunya di pertigaan kampung, yang pada malam minggu itu ramainya luar biasa. Apalagi setiap malam kamis dan malam minggu ada acara curhat kisah yang top banget, di sebuah stasiun radio swasta di Gorontalo, kalau tidak salah ingat nama acaranya Suara Hati dan penyiarnya juga Satria Herlambang.
Pembaca nurani yang baik. Waktu terus bergulir, dan seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang tidak lepas dengan kata pacaran, akupun demikian. Aku sendiri memiliki kekasih yang sangat aku cintai, Boby namanya. Masa-masa indah aku lewati bersama Boby, indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua orang tua Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan kami. Hingga musibah ini akhirnya tiba, aku dilamar oleh seorang pria yang sudah sangat aku kenal, yaa siapa lagi kalau bukan si kuper Kak Arfan. Lewat Pamanku orang tua kak Arfan melamarku untuk anak yang kampungan itu, mendengar penuturan Mama saat memberi tahu tentang lamaran itu, kurasakan dunia ini gelap, kepalaku pening, aku berteriak sekencang-kencangnya menolak permintaan lamaran itu, dengan tegas dan tidak terbelit-belit aku sampaikan kepada orang tuaku bahwa aku menolak lamaran keluarga kak Arfan dan dengan terang-terangan pula aku sampaikan bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku. Ya, dengan terang-terangan pula aku sampikan bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku, Boby namanya. Mendengar semua itu ibuku shock dan jatuh tersungkur ke lantai, akupun tidak menduga kalau sikapku yang egois itu akan membuat Mama shock. Baru ku tahu bahwa yang membuat Mama shock itu karena beliau sudah menerima secara resmi lamaran kak Arfan, hatiku sedih saat itu dan kurasakan dunia begitu kelabu, aku seperti menelan buah simalakama, seperti orang yang paranoid, bingung dan tidak tahu apakah harus ikut kata orang tua atau lari bersama kekasihku Boby? Hatiku sedih saat itu, akhirnya dengan berat hati dan penuh rasa kesedihan aku menerima lamaran kak Arfan untuk menjadi suamiku, dan kujadikan malam terakhir perjumpaanku dengan Boby di rumahku untuk meluapkan segala kesedihanku. Jujur, meskipun kami saling mencintai tetapi mau tidak mau Boby harus merelakan aku menikah dengan kak Arfan, karena saat itu Boby belum siap untuk membina rumah tangga.
Pembaca yang budiman. Tanggal 11 Agustus 2007 akhirnya pernikahan kami pun digelar, aku merasa bahwa pernikahan itu begitu menyesakkan dadaku, air mataku tumpah dimalam resepsi pernikahan itu, ditengah-tengah senyuman orang-orang yang hadir diacara resepsi pernikahan itu, mungkin akulah orang yang paling tersiksa karena masa remajaku dan menikah dengan lelaki yang tidak pernah aku cintai. Dan yang paling membuatku tidak bisa menahan air mataku, ternyata mantan kekasihku Boby juga hadir diacara resepsi pernikahan tersebut. Ya Allah mengapa semua ini harus terjadi padaku ya Allah, mengapa harus yang menjadi korban semua ini adalah aku? Waktu terus berputar dan malam pun semakin merayap hingga akhirnya selesailah acara resepsi pernikahan kami, satu persatu tamu undangan mulai pulang hingga sepilah rumah kami, saat masuk kedalam kamar aku tidak mendapati suamiku kak Arfan didalamnya. Dan sebagai seorang istri yang terpaksa harus menikah dengannya, maka akupun membiarkannya dan langsung membaringkan tubuhku diatas ranjang setelah sebelumnya kuhapus make up pengantinku dan melepaskan gaun pengantinku. Aku bahkan tidak perduli kemana suamiku malam itu, karena rasa capek dan diserang kantuk pun akhirnya aku tertidur. Tiba-tiba di sepertiga malam aku tersentak ketika ada sesosok hitam berdiri disamping ranjang tidurku, dadaku berdegup kencang, aku hampir saja berteriak histeris andai saja aku saat itu tidak mendengar suara takbir terucap lirih dari sosok yang berdiri itu, perlahan aku mulai memperhatikan sosok yang berdiri itu, ternyata sosok yang berdiri itu adalah kak Arfan, suamiku yang sedang shalat tahajud, perlahan aku membalikkan tubuhku sambil membelakanginya yang saat itu sedang shalat tahajud, ya Allah aku lupa bahwa aku saat ini sudah menjadi istrinya kak Arfan, tetapi meskipun demikian aku masih belum bisa menerima kehadirannya dalam hidupku, saat itu karena masih dibawa perasaan mengantuk akupun kembali tertidur, hingga pukul 04.00 dini hari aku dapati suamiku sedang tidur beralaskan sejadah dibawah ranjang pengantin kami, dan kembali aku berdegup kencang tatkala mendapatinya, aku masih lupa dan belum percaya kalau aku telah bersuami semalam, tetapi ada sebuah tanya yang terdetik dalam dadaku, mangapa kak Arfan tidak tidur seranjang bersamaku? Kalaupun dia belum mau menyentuhku, yaa paling tidak tetap seranjang denganku, itukan logikanya, ada apa ini? Ujarku perlahan dalam hati. Aku sendiri merasa bahwa malam itu mungkin kak Arfan kecapean sama seperti diriku hingga dia tidak mendatangiku dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami dimalam pertama, tetapi apa perduliku dengan semua itu, toh akupun tidak menginginkannya. Itulah gumamku dalam hati.
Pembaca nurani yang budiman. Hari terus berlalu dan kamipun menjalani aktivitas kami masing-masing, kak Arfan bekerja mencari rizki dengan pekerjaannya dan aku dirumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa aku telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani suamiku, ya paling tidak menyediakan makanan buatnya meskipun kenangan bersama Boby belum hilang dari benakku, aku terkadang masih merinduinya. Semula aku pikir bahwa prilaku kak Arfan yang tidak pernah menyentuhku dan tidak pernah menunaikan kewajibannya sebagai suami itu hanya terjadi pada malam pertama pernikahan kami tetapi ternyata yang terjadi adalah hampir setiap malam sejak malam pengantin itu kak Arfan masih tidur dibawah ranjang beralaskan permadani atau tidur diatas sofa didalam kamar kami. Dia tidak pernah menyentuhku walau hanya menjabat tanganku. Jujur, segala kebutuhanku selalu dipenuhinya secara lahir dia selalu menafkahi diriku, bahkan nafkah lahir yang dia berikan lebih dari apa yang aku butuhkan. Tetapi soal biologis entah mengapa kak Arfan tidak pernah sama sekali mengungkitnya atau menuntutnya dariku, bahkan yang tidak pernah aku pahami pernah kami secara tidak sengaja bertabrakan didepan pintu kamar dan kak Arfan meminta maaf seolah bersalah karena telah menyentuh diriku. Ada apa dengan kak Arfan, apa dia lelaki normal? Kenapa dia begitu dingin kepadaku? Apakah aku kurang dimatanya? Atau………
Pembaca yang budiman. Jujur merasai semua itu membuat banyak tanya dalam benakku, ada apa dengan suamiku? Bukankah dia pria yang beragama dan menafkahi istri secara lahir dan batin adalah kewajiban seorang suami, ada apa dengannya? Padahal setiap hari dia mmengisi acara-acara keagamaan di masjid begitu santun kepada orang-orang dan kepada orang tuanya bahkan kepadaku kewajibannya hampir semua dia tunaikan dengan hikmah, tidak pernah sekalipun dia mengasari aku, berkata keras padaku, bahkan kak Arfan terlalu lembut padaku, tapi satu yang belum ia tunaikan yaitu nafkah batin. Aku sendiri saat mendapatkan perlakuan darinya yang begitu lembutnya mulai menumbuhkan rasa cintaku kepadanya dan membuatku perlahan melupakan masa laluku bersama Boby, aku bahkan mulai merindukannya tatkala kak Arfan sedang tidak ada dirumah, aku bahkan berusaha selalu menyenangkan hatinya dengan melalukan anjuran-anjuran yang dia sampaikan lewat ceramah-ceramah kepada muslimah umumnya, yakni memakai busana muslimah yang syar’i.
Memang dua hari setelah pernikahan kami, kak Arfan memberikan hadiah yang diisi dalam sebuah karton besar kepadaku. Semula aku mengira bahwa hadiah itu adalah alat-alat rumah tangga ternyata isinya adalah 5 potong jubah panjang berwarna gelap, 5 buah jilbab panjang sampai kelutut juga berwarna gelap, 5 pasang kaos kaki panjang dan tebal berwarna hitam dan 5 pasang manset berwarna gelap pula. Jujur saat membukanya aku merasa sedikit tersinggung, sebab yang ada dalam benakku dan dalam bayanganku bahwa inilah konsekwensi menikah dengan seorang ustadz. Aku mengira bahwa dia akan memaksa aku untuk menggunakannya ternyata dugaanku salah sama sekali, sebab hadiah itu tidak pernah sama sekali disentuhnya atau ditanyainya dan kini aku mulai menggunakannya tanpa paksaan siapapun, ku kenakan busana itu biar ia tahu bahwa aku menganggapnya istimewa bahkan kebiasaannya sebelum tidur mengaji sudah mulai aku ikuti. Kadang-kadang ceramahnya dimasjid sering aku ikuti dan aku praktekan dirumah. Tetapi satu yang belum bisa aku mengerti darinya, entah mengapa hingga memasuki 6 bulan pernikahan kami dia tidak pernah menyentuh aku. Setiap masuk kamar pasti sebelum tidur ia awali dengan mengaji lalu tidur diatas hamparan permadani dibawah ranjang hingga ia terjaga lagi disepertiga malam dan melaksanakan shalat tahajud. Hingga suatu saat kak Arfan jatuh sakit, tubuhnya demam dan panasnya sangat tinggi, aku sendiri bingung bagaimana cara menanganinya? Sebab kak Arfan sendiri tidak pernah menyentuhku, aku khawatir dia akan menolakku bila aku menawarkan jasanya untuk membantu. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku ingin sekali meringankan sakitnya, tetapi apa yang harus aku lakukan ya Allah? Aku bingung saat ini.
Pembaca nurani yang baik. Malam itu aku tidur dalam keadaan gelisah, aku tidak bisa tidur mendengar hembusan nafasnya yang seolah sesak, ku dengar kak Arfan sering mengigau kecil, mungkin karena suhu panasnya yang tinggi sehingga ia selalu mengigau sementara malam begitu dingin disertai hujan yang sangat deras dan angin yang bertiup kencang. Kasian kak Arfan pasti dia sangat kedinginan saat itu, perlahan-lahan aku bangun dari pembaringan dan duduk kemudian menatapnya yang sedang tertidur pulas. Perlahan aku pasangkan selimutnya yang sudah menjulur kebawah, ingin sekali aku merebahkan diriku disampingnya atau hanya sekedar mengompresnya dengan air hangat. Tetapi aku tidak tahu bagaimana harus memulainya, hingga aku akhirnya tidak kuasa menahan keinginan hatiku untuk mendekatkan tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya. Tetapi baru beberapa detik tanganku menyentuh kulit dahinya kak Arfan terbangun dan duduk menjauhiku sambil berujar, “Afwan dek, kau belum tidur, Kenapa ada dibawah? Nanti kau kedinginan, ayo naik lagi keranjangmu dan tidur lagi, nanti besok kau capek dan jatuh sakit” pinta kak Arfan kepadaku, hatiku miris saat mendengar semua itu, dadaku sesak, mengapa kak Arfan selalu dingin kepadaku? Apakah dia menganggap aku orang lain? Apa dihatinya tidak ada sama sekali cinta untukku? Tanpa kusadari air mataku menetes sambil menahan isak yang ingin sekali aku luapkan, hingga akhirnya gemuruh dihatiku tak bisa aku bendung juga. “Afwan kak, kenapa sikapmu selama ini kepadaku begitu dingin, kau bahkan tidak pernah mau menyentuhku, walaupun hanya sekedar menjabat tanganku, bukankah aku ini istrimu, bukankah aku telah halal buatmu, lalu mengapa kau jadikan aku sebagai patung perhiasan dikamarmu, apa artinya diriku bagimu kak, apa artinya bagiku, apa artinya diriku, kalau kau tidak mencintaiku lantas mengapa kau menikahi aku kak, mengapa?” itulah ujarku disela isak tangis yang tidak bisa aku tahan. Tidak ada reaksi apapun dari kak Arfan menanggapi galaunya hatiku dalam tangis yang tersedu itu, yang nampak adalah dia malah memperbaiki posisi duduknya dan melirik jam yang menempel didinding kamar kami, hingga akhirnya dia mendekatiku dan perlahan berujar kepadaku, “Dek, jangan kau pernah bertanya kepada kakak tentang perasaan ini padamu, karena sesungguhnya kakak begitu sangat mencintaimu tetapi sebaliknyalah tanyakan hal itu pada dirimu sendiri. Apa saat ini telah ada cinta untuk kakak? Kakak tahu dan kakak yakin suatu saat kau akan bertanya mengapa selama ini sikap kakak begitu dingin padamu. Sebelumnya kakak minta maaf dek bila semuanya baru kakak kabarkan malam ini, kau mau tahu apa sebenarnya maksud kakak dengan semua ini?” ujar kak Arfan dengan agak sedikit gugup. “Ya saya mau tahu, tolong jelaskan ini padaku kak, mengapa kakak begitu tega lakukan ini padaku? Tolong jelaskan kak!” ujarku menimpali tutur kak Arfan. Saat itu kak Arfan memulainya dengan helaan nafas panjang. “Dek, kau tau apa itu pelacur, dan apa pekerjaan dari seorang pelacur? Afwan dek, dalam pemahaman kakak seorang pelacur adalah wanita penghibur yang kerjanya melayani para lelaki hidung belang untuk mendapatkan materi tanpa perduli apakah dihatinya ada cinta untuk lelaki itu atau tidak. Bahkan seorang pelacur terkadang harus meneteskan air matanya manakala dia harus melayani lelaki yang tidak ia cintai bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dengan apa yang sedang terjadi saat itu, dan kakak tidak ingin itu terjadi padamu karena kau bukan pelacur, kau istriku dek kau bukan pelacur. Betapa bejatnya kakak ketika kakak memaksamu harus melayaniku dengan paksa saat malam pertama pernikahan kita sedangkan dihatimu tidak ada cinta sama sekali buat kakak, alangkah berdosanya kakak bila saat melampiaskan birahi kakak padamu malam itu sementara yang ada dalam benakmu bukanlah kakak, tetapi ada lelaki lain. Kau mau tahu dek? Sehari sebelum pernikahan kita, kakak sempat datang kerumahmu untuk memenuhi undangan bapakmu, namun begitu kakak sampai tepat berada didepan pintu gerbang rumahmu, kakak melihat dengan mata kepala kakak sendiri kesedihanmu yang kau lampiaskan pada kekasihmu Boby. Kau ungkapkan bahwa kau tidak mencintai kakak, kau ungkapkan bahwa kau hanya akan mencintai Boby selamanya, kau tahu dek? Saat itu kakak merasa bahwa kakak telah merampas kebahagiaanmu, dan kakak yakin bahwa kau menerima pinangan kakak ini karena terpaksa, kakak juga mempelajari sikapmu saat di pelaminan bahwa begitu sedihnya hatimu saat bersanding di pelaminan bersama kakak. Lantas, haruskah kakak egois dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu? Sementara tanpa memperdulikan perasaanmu, kakak terpaksa menunaikan kewajiban sebagai seorang suami pada malam pertama, sementara kau sendiri seolah mematung dan berderai air mata seperti seorang pelacur. Kau istriku dek, sekali lagi kau istriku, kau tahu? Kakak begitu sangat mencintaimu dan kakak akan menunaikan semua itu manakala dihatimu sudah ada cinta untuk kakak. Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu, agar kau menikmati dengan apa yang kita lakukan bersama. Dan Alhamdulillah apabila hari ini kau sudah mencintai kakak dan kakak juga sangat bersyukur jika hari ini kau telah melupakan mantan kekasihmu itu, beberapa hari ini kakak perhatikan kau juga sudah mengenakan busana yang syar’I, pinta kakak padamu dek luruskan lagi niatmu kalau kemarin kau mengenakan busana syar’I itu hanya untuk menyenangkan kakak semata, maka sekarang luruskan niatmu, niatkan semua itu untuk Allah SWT setelahnya tentunya untuk kakak.”
Pembaca nurani yang budiman. Mendengar semua itu aku memeluk suamiku aku merasa bahwa dia adalah lelaki yang terbaik selama hidupku, aku bahkan telah melupakan Boby, aku merasa bahwa malam itu aku adalah wanita yang paling bahagia, karena meskipun dalam keadan sakit untuk pertama kalinya kak Arfan mendatangiku sebagai seorang suami. Hari-hari kami lalui dengan penuh kebahagiaan, kak Arfan begitu sangat kharismatik terkadang dia seperti seorang kakak buatku terkadang seperti orang tua, darinya aku banyak belajar, perlahan aku mulai meluruskan niatku aku mengenakan busana syar’I semata-mata hanya karena Allah dan untuk menyenangkan suamiku. Sebulan setelah malam itu dalam rahimku telah tumbuh benih-benih hasil dari buah cinta kami berdua, Alhamdulillah aku sangat bahagia bersuamikan dia darinya aku belajar agama yang banyak, aku menjadi mutarobbinya. Hari demi hari kami lalui bersama dengan penuh kebahagiaan, ternyata dia mencintaiku lebih dari apa yang aku bayangkan dan aku hampir saja melakukan tindakan bodoh dengan menolak pinangan dia.
Pembaca nuani yang baik. Aku fikir kebahagiaan itu akan berlangsung lama diantara kami, setelah lahir Abdurrahman hasil buah cinta kami berdua, anak pertama kami berdua, diakhir tahun 2008 kak Arfan mengalami kecelakaan dan usianya tidak panjang, kak Arfan meninggal dunia dirumah sakit sehari setelah tabrakan tersebut. Aku sangat kehilangannya, aku seperti kehilangan penopang hidupku, aku kehilangan kekasihku, aku kehilangan murobbiku, aku kehilangan suamiku.
Pembaca nurani yang budiman. Tidak pernah terbayangkan bahwa kehidupan kami bersama begitu singkatnya, yang tidak pernah aku lupakan diakhir kehidupan kak Arfan dia masih sempat menasehatkan sesuatu padaku. “Dek, pertemuan dan perpisahan itu adalah fitrahnya kehidupan, kalau ternyata kita berpisah besok atau lusa, kakak minta padamu dek, jaga Abdurrahman dengan baik, jadikanlah dia sebagai mujahid yang senantiasa membela agama Allah dan senantiasa menjadi yang terbaik untuk ummat, memberikan yang terbaik untuk ummat, didik dia dengan baik dek jangan kau sia-siakan dia. Satu permintaan kakak, kalau suatu saat ada seorang pria yang datang melamarmu, pilihlah pria yang tidak hanya mencintaimu tetapi juga mau menerima kehadiran anak kita, maafkan kakak dek bila selama bersamamu ada yang kurang yang telah kakak perbuat untukmu, senantiasalah berdoa kalau kita berpisah di dunia saat ini, Insya Allah kita akan bersua kembali di akhirat kelak. Kalau Allah mentakdirkan kakak yang pergi terlebih dahulu meninggalkan dirimu, Insya Allah kakak akan senantiasa menantimu.” Demikianlah pesan terakhir kak Arfan sebelum keesokan harinya kak Arfan meninggalkan dunia ini, hatiku sangat sedih saat itu, aku merasa sangat kehilangan, tetapi aku berusaha mewujudkan apa yang menjadi harapan teakhirnya.
sourcehttp://blog-khutbahjumat.blogspot.com/2011/12/kisah-maryani-aryani-akhwat-gorontalo.html
Jumat, 24 Januari 2014
Aku dan hujan januari
Beberapa kata yang memporak porandakan rasa
Aku hanya perlu mengemasnya, lalu menamakannya luka
Dulu kita bertanya,
mengapa banyak orang dibelakang kita yang rela berdarah2 karena cinta,
berbincang, mengapa banyak orang menangisi kejamnya perpisahan
begini rasanya,,,
Berbenahlah, sudah saatnya kau mencari jalan kembali
setelah lama tersesat di labirin hatiku ini, .....
Di suatu musim, ketika senja tak lagi jingga
Jumat, 17 Januari 2014
Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan
Oleh: Ustadz Fuad Al Hazimi
(Arrahmah.com) – Tidak
sedikit dari kita yang tersibukkan dengan mengamati pekerjaan orang
lain, bukan untuk mengambil ibroh atau membantu menyelesaikan
pekerjaannya tetapi justru untuk menunggu kapan orang itu terpeleset
dalam kekeliruan atau melakukan kesalahan sehingga ia bisa segera
mengkritik dengan kritikan yang tidak jarang melebihi batas yang
proporsional.
Sungguh alangkah baiknya jika kita
merenungi kata-kata bijak ini yang sejujurnya saya tidak tahu dari mana
asalnya dan siapa yang pertama kali mengucapkannya :
“Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”
“It’s Better to light a candle than curse the darkness”
Atau dalam bahasa Arab nya :
الأفضل أن تضيء شمعة من أن يلعن الظلام
Mengutuk
kegelapan tidak akan menjadikan gelap sirna tetapi justru menambah
pengapnya suasana hati. Mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi
juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan.
Karena
itu sungguh sebuah pelajaran yang sangat berharga yang diajarkan oleh
Amirul Mukminin Umar Bin Abdul Aziz yang menasehati putranya :
سأحيي في كل يوم سنة وأميت بدعة
“Setiap hari aku akan menghidupkan satu sunnah dan mematikan satu bid’ah”
Dan
hasilnya sebagaimana diriwayatkan oleh banyak ulama, Amirul Mukminin
Umar Bin Abdul Aziz berhasil menghapuskan bid’ah-bid’ah yang biasa
dilakukan umat Islam di bawah kekhalifahannya hanya dalam waktu dua
setengah tahun …!!!!
Allah Azza Wa Jalla Berfirman :
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلًا
“Katakanlah
: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Rabb
mu Yang lebih Mengetahui siapa yang lebih benar jalan-Nya”. (QS Al Isra’ 84)
وَقُلِ
اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan katakanlah :
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS At Taubah 105)
هُوَ
أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ
أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Dan Dia (Allah) lebih
Mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah
dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu
mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling Mengetahui tentang orang yang
bertakwa”. (QS An Najm 32)
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ
“Beruntunglah
orang yang disibukkan dengan mengintrospeksi aib dirinya sehingga tidak
sempat mencari-cari aib saudaranya” (HR. Bazzar dengan sanad Hasan –
Subulus Salam 7/197)
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُكَ
العَفْوَ وَالعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إنِّي
أَسْأَلُكَ العَفْوَ وَالعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي
وَمَالِي، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي، وَآمِنْ رَوْعَاتِي، اللَّهُمَّ
احْفَظْنِي مِنْ بَيْنَ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِي، وَعَنْ يَمِينِي، وَعَنْ
شِمَالِي، وَمِنْ فَوْقِي، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ
تَحْتِي
“Ya Allah..! Sesungguhnya aku memohon ampunan dan
terbebas dari masalah di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon ampunan dan terbebas dari masalah dalam urusan agama, dunia,
keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aibku) dan
tenangkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah! Jagalah aku dari arah muka,
belakang, kanan, kiri dan dari atasku, dan aku berlindung dengan
kebesaranMu, agar aku tidak dihancurkan dari bawahku (dalam kondisi
lengah)”
(HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan Al Albani)
(samirmusa/arrahmah.com)
Kamis, 16 Januari 2014
Kisah yang Buruk untuk Dituliskan dan Diceritakan Kepadamu
Rizqa,
Seperti peristiwa ketinggalan kereta, sesuatu yang sedang kita tunggu berikutnya seringkali adalah sesuatu yang sudah kita lewatkan. Sementara waktu tak mungkin berjalan mundur, menunggu ‘kesempatan kedua’ kadang-kadang seperti sebuah usaha untuk menerjemahkan kata ‘selamanya’ menjadi satuan waktu yang bisa dihitung dan diperkirakan. Kita boleh berharap bisa melakukannya, tetapi kenyataan seringkali bahkan selalu tak seindah yang kita bayangkan.
Ah, betapa sialan dan menyebalkan, mengapa penyesalan selalu datang belakangan? Lebih buruk lagi, mengapa kita selalu bisa menemukan alasan sempurna untuk merasa tidak baik-baik saja?
Sedang apa kamu sekarang? Mengapa waktu berjalan cepat saat kita bersama dan mengapa ia berjalan begitu lambat saat kita berada di dua tempat yang berbeda? Mengapa aku tak suka menatap matamu dari dekat tetapi selalu merindukan matamu dari jauh? Mengapa tanganku begitu sibuk saat kita berjalan berdua tetapi begitu dingin dan kesepian saat kita sedang tidak bersama-sama? Mengapa takdir begitu sialan memisahkan kita dalam kata ‘sementara’ yang terasa seperti selama-lamanya?
Sebenarnya aku tak memiliki kemampuan untuk menuliskan perasaan semacam ini. Seolah-olah aku perlu ribuan kamus untuk menemukan kata-kata yang bisa menggambarkan perasaanku tentang semua ini, dan merangkai kata-kata itu menjadi semacam kalimat sempurna adalah pekerjaan besar lainnya. Barangkali aku perlu semacam kamera untuk merekam semua ekspresi yang kumiliki, mungkin aku perlu mendengarkan ribuan komposisi untuk menemukan soundtrack yang tepat bagi hari-hari kelabu yang sedang aku jalani.
Mungkin aku butuh semacam pengalih perhatian. Aku butuh semacam pelarian. Kenangan tentangmu terlalu sering menjadi mimpi indahku, dan karena itu boleh jadi episode-episode indah itu adalah semacam mimpi buruk dalam setiap terjagaku. Ah, mengapa jadi begini? Mengapa aku jadi melantur? Jelas aku butuh istirahat. Aku butuh ketenangan. Aku perlu tidur nyenyak. Dan aku perlu tanganmu untuk benar-benar membangunkanku besok pagi.
“Tidurlah. Tidurlah, Sayangku. Seperti selama ini kau terlelap di lenganku,” Katamu, “Dan jika aku mengusap wajahmu atau membelai rambutmu atau membetulkan letak kepalamu, bermimpi indahlah. Ketenangan adalah saat kita memasrahkan semuanya pada keadaan, takdir yang kadang-kadang sialan membuat kita ketinggalan kereta, untuk menunggu lebih lama demi kedatangan kereta berikutnya: Semacam kesempatan kedua.”
Dan aku mulai mengantuk setelah mendengar suaramu, kepalaku jadi berat. Tapi, jangan dulu tutup teleponnya, kemana kita sebenarnya akan pergi dengan kereta kedua itu?
“Barangkali ke stasiun berikutnya: Kedewasaan,” jawabmu, “Tempat di mana kita akan menyadari betapa berharganya kebersamaan dan betapa perpisahan mengajarkan kita banyak hal. Tempat di mana kita mengerti bahwa sesuatu yang paling kita tunggu dan inginkan sebenarnya adalah hal-hal kecil yang sedang kita dekap tetapi sering kita sepelekan di keseharian. Tempat di mana kita tak memberi ruang pada penyesalan-penyesalan tetapi mencari peluang-peluang untuk sejumlah kerja perbaikan.”
Apakah kita benar-benar sudah ketinggalan kereta?
“Ya,” katamu, “Tetapi aku akan menunggu.”
Maafkan aku, Sayangku. Semoga kita segera berjumpa di stasiun berikutnya. Aku mungkin akan terlambat. Tetapi kau sudah membawa cintaku bersamamu, dan rinduku selalu datang tepat waktu.
Selamat tidur. Tetaplah mengagumkan.
FAHD DJIBRAN | Melbourne, 14 Januari 2014
Rabu, 01 Januari 2014
02.43 1 Januari 2014
Hay Kamu ...
coba perhatikan tulisan yang aku ketik dibawah ini
Entah nasehat atau semacamnya, biarkan aku menulis sepahamku tentang dirimu
Hanya beberapa baris kebawah setelah kamu membaca baris ini
Januari 2014, aku menulis ini disaat sebagian kecil penduduk bumi terlelap tidur setelah lelah berteriak happy new year kepada setiap orang yang mereka temui di ujung tahun
Sudah 2014 ya ... itu berarti umurmu sudah .... iya, kau hanya tinggal menggunakan tahun kelahiranmu sebagai pengurang di tahun baru ini, tahun yang hampir seluruh orang mengira tahun ini adalah tahun kabisat.
Hey Kamu ...
Dengarkan .... Promise me you'll always remember,
jagalah KESEHATANmu, ku mohon. Kau sudah terlalu mengabaikan satu kata itu. Kau terlalu sombong mengatakan kalau kau tidak apa-apa, kau baik-baik saja. Walaupun aku tahu kalimat itu jujur terlontar dari hatimu, sesuai kondisimu, tapi percayalah, untuk saat ini mungkin begitu .... tapi kau tak pernah tau efek dari kebiasaan burukmu yang kau anggap baik-baik saja untuk saat ini.
Cobalah menatap cermin, lalu dengan seksama kau perhaatikan dirimu dari dimensi pembatas itu. Lihatlah matamu, itu berbeda dengan sejumlah tatapan yang kutemui. Jangan gunakan modus untuk membuat alasan kepadaku kenapa kau tetap ngeyel tak pernah mengindahkan teguranku. Suatu saat, entah beberapa tahun lagi, aku tidak ingin menjumpaimu dengan wajah berMUTU mu itu.
#Minum air 8 gelas
#Makan teratur
#Kurangi nonton film
#Biasakan tidur maksimal jam 11
#Kurangi aktivitas di dunia maya
Tingkatkan Ibadah, selamat brjuang menjadi hamba yang baik karna umurmu semakin pendek ! (y)
#Nasiat untuk diri sendiri
coba perhatikan tulisan yang aku ketik dibawah ini
Entah nasehat atau semacamnya, biarkan aku menulis sepahamku tentang dirimu
Hanya beberapa baris kebawah setelah kamu membaca baris ini
Januari 2014, aku menulis ini disaat sebagian kecil penduduk bumi terlelap tidur setelah lelah berteriak happy new year kepada setiap orang yang mereka temui di ujung tahun
Sudah 2014 ya ... itu berarti umurmu sudah .... iya, kau hanya tinggal menggunakan tahun kelahiranmu sebagai pengurang di tahun baru ini, tahun yang hampir seluruh orang mengira tahun ini adalah tahun kabisat.
Hey Kamu ...
Dengarkan .... Promise me you'll always remember,
jagalah KESEHATANmu, ku mohon. Kau sudah terlalu mengabaikan satu kata itu. Kau terlalu sombong mengatakan kalau kau tidak apa-apa, kau baik-baik saja. Walaupun aku tahu kalimat itu jujur terlontar dari hatimu, sesuai kondisimu, tapi percayalah, untuk saat ini mungkin begitu .... tapi kau tak pernah tau efek dari kebiasaan burukmu yang kau anggap baik-baik saja untuk saat ini.
Cobalah menatap cermin, lalu dengan seksama kau perhaatikan dirimu dari dimensi pembatas itu. Lihatlah matamu, itu berbeda dengan sejumlah tatapan yang kutemui. Jangan gunakan modus untuk membuat alasan kepadaku kenapa kau tetap ngeyel tak pernah mengindahkan teguranku. Suatu saat, entah beberapa tahun lagi, aku tidak ingin menjumpaimu dengan wajah berMUTU mu itu.
#Minum air 8 gelas
#Makan teratur
#Kurangi nonton film
#Biasakan tidur maksimal jam 11
#Kurangi aktivitas di dunia maya
Tingkatkan Ibadah, selamat brjuang menjadi hamba yang baik karna umurmu semakin pendek ! (y)
#Nasiat untuk diri sendiri
Langganan:
Postingan (Atom)